Pernikahan Agung: Alia dan Anto (2)
Sabtu, 9 April 2005
Saya baru saja pulang dari “pernikahan kedua” Alia dan Anto. Seperti telah saya ceritakan pada part sebelumnya, Alia dan Anto menikah siri di hadapan orang tua Alia pada Senin malam, 21 Pebruari 2005. Namun, karena pernikahan tersebut belum resmi secara aturan kenegaraan, maka keduanya melakukan ijab-kabul ulang di hadapan petugas KUA tadi pagi, tepatnya pada pukul 09.30 WIB. Bertempat di rumah orang tua Alia, di bilangan Komplek Pondok Duta, Cimanggis – Depok.
Ketika saya datang, upacara ijab-kabul belum dimulai. Untuk mengawali acara pada hari itu, rombongan mempelai pria berjalan beriringan menuju ke depan rumah Alia. Di gerbang masuk, diadakanlah upacara kecil untuk menerima seserahan dari pihak pria. Acara seserahan tersebut, dimaksudkan sebagai simbol penyerahan mempelai pria dari pihak orang tuanya kepada pihak orang tua mempelai wanita. Usai seserahan tersebut, berarti pihak mempelai pria telah siap untuk dinikahkan dengan mempelai wanita.
Ketika acara seserahan berlangsung, saya sengaja berdiri mengamati dari jarak sekitar 10 meter. Saya masih segan untuk mendekat, karena saya kira hanya pihak keluarga saja yang berada di tempat upacara nikah. Ternyata saya salah,karena di bawah tenda, telah disediakan tempat duduk bagi para tamu.
Kemudian, saya pun segera menuju ke bawah tenda dan mendengarkan upacara ijab-kabul dari pengeras suara. Ijab kabulnya sendiri tidak saya saksikan di depan mata, karena dilaksanakan di dalam rumah.
Saat sudah duduk dan persiapan pengucapan ijab-kabul hendak dimulai, saya mulai merasakan ada yang membuncah di dada saya. Ada rasa bahagia karena saya bisa hadir di sini dan menyaksikan Alia menikah. Rasa bahagia bercampur haru terus saya rasakan saat detik-detik acara ijab-kabul dilaksanakan.
Pertama-tama, Alia dan Anto meminta ijin untuk menikah kepada papa Alia. Suasana haru makin menyergap para hadirin. Apalagi saat papa Alia mengucapkan kalimat ijab, sambil menangis tersedu. Tak sadar, kelopak mata saya telah dipenuhi dengan bulir-bulir air. Ya, ternyata saya menangis. Padahal, jika mengingat pernikahan saya, rasa-rasanya tak ada apa-apanya. Saya tidak menangis pada saat ijab-kabul dilaksanakan. Saya sendiri heran kenapa waktu itu saya tak bisa menangis. Tapi, begitulah kenyataannya.
Saya merasakan, inilah salah satu pernikahan agung yang pernah saya hadiri. Betapa tidak, pernikaan tersebut dilaksanakan dalam suasana sedih, karena papa Alia sedang menderita kanker tulang akut yang membuatnya sering “anfal:. Pernikahan tersebut juga “dihiasi” dengan mahar sederhana berupa seperangkat alat shalat, perhiasan emas seberat 8 gram, dan hafalan QS. Ar Rahman: 1 – 30. Subhanallah… Semoga kesederhanaan mahar tersebut akan membawa Alia dan keluarganya menuju kehormatan yang setinggi-tingginya di sisi Allah. Amiin.
Seusai acara ijab-kabul, saya mencicipi salad sayur dan puding yang dihidangkan di beranda depan. Saya sengaja tidak mengambil nasi, karena sebelumnya saya sudah sarapan di rumah. Enak juga dessert yang saya santap itu. Sederhana, namun benar-benar cocok di lidah.
Setelah merasa cukup, saya kemudian menuju ke pelaminan Alia dan Anto di ruang depan. Sebentar mengantri, saya pun mendapat giliran untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Di pelaminan itu, Alia dan anto diapit oleh dua orang pendamping. Saya mengira, mereka berdua adalah paman dan mama Alia.
Sampai pada suami Alia, saya masih sanggup mengucapkan kalimat “Barakallahu” dengan lancar. Tapi begitu bersalaman dan berpelukan dengan Alia, saya kembali menitikkan air mata haru. Saat itu, terjadi percakapan singkat antara saya dan Alia.
“Sendirian ya? Yang lain mana?” tanya Alia.
“Nia…, Alin…, mungkin nanti,” jawab saya. Tenggorokan saya tiba-tiba tercekat.
“Suami kamu mana?” tanyanya lagi.
“Belum balik,” jawab saya lagi. Kali itu saya benar-benar sudah sesenggukan.
“Kamu kenapa?” tanya Alia heran.
“Enggak apa-apa. Aku cuma haru sama pernikahan kamu.”
Alia pun tersenyum. Kemudian ia berkata “itu papaku,” sambil menunjuk papanya yang terbaring lemah di sebuah ranjang pendek, di sebelah kiri pelaminan,
Air mata saya terus berlinangan, sampai saya mengucap kalimat “semoga lekas sembuh” pada papa Alia. Beliau sendiri hanya diam, memandangi saya dengan mata berkaca-kaca.
Merasa tak kuat, saya lalu pamit dan keluar ruang sambil mengusap kedua pipi saya yang basah. Saya tak henti bertasbih, karena masih diberi kesempatan untuk menyaksikan salah satu kebesaran-Nya. Yang menyadarkan saya bahwa apapun bisa terjadi, jika hal itu telah menjadi kehendak-Nya. Kapan pun dan dimana pun itu.
0000
Pernikahanmu sungguh indah, Alia. Semoga pernikahan indah dan penuh doa itu, merupakan awal membahagiakan bagi hidupmu. Di dunia dan juga akhirat. Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a baiynakuma fii khair (Semoga Allah memberimu barokah dan barokah Allah meliputi kamu sekalian). Amiin.
Material, 9 April 2005
11:35 WIB
=====
Note for Alia:
Kemaren aku nangis bukan karena suamiku belum balik dari Jerman :D Tapi sungguh, karena keharuanku atas pernikahanmu. Selamat berjuang ya… semoga diberi kemudahan oleh Allah SWT untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Amiin. Trus, kalo ada salah-salah kata, mohon koreksinya. Ntar bisa diedit kok :D
Sabtu, 9 April 2005
Saya baru saja pulang dari “pernikahan kedua” Alia dan Anto. Seperti telah saya ceritakan pada part sebelumnya, Alia dan Anto menikah siri di hadapan orang tua Alia pada Senin malam, 21 Pebruari 2005. Namun, karena pernikahan tersebut belum resmi secara aturan kenegaraan, maka keduanya melakukan ijab-kabul ulang di hadapan petugas KUA tadi pagi, tepatnya pada pukul 09.30 WIB. Bertempat di rumah orang tua Alia, di bilangan Komplek Pondok Duta, Cimanggis – Depok.
Ketika saya datang, upacara ijab-kabul belum dimulai. Untuk mengawali acara pada hari itu, rombongan mempelai pria berjalan beriringan menuju ke depan rumah Alia. Di gerbang masuk, diadakanlah upacara kecil untuk menerima seserahan dari pihak pria. Acara seserahan tersebut, dimaksudkan sebagai simbol penyerahan mempelai pria dari pihak orang tuanya kepada pihak orang tua mempelai wanita. Usai seserahan tersebut, berarti pihak mempelai pria telah siap untuk dinikahkan dengan mempelai wanita.
Ketika acara seserahan berlangsung, saya sengaja berdiri mengamati dari jarak sekitar 10 meter. Saya masih segan untuk mendekat, karena saya kira hanya pihak keluarga saja yang berada di tempat upacara nikah. Ternyata saya salah,karena di bawah tenda, telah disediakan tempat duduk bagi para tamu.
Kemudian, saya pun segera menuju ke bawah tenda dan mendengarkan upacara ijab-kabul dari pengeras suara. Ijab kabulnya sendiri tidak saya saksikan di depan mata, karena dilaksanakan di dalam rumah.
Saat sudah duduk dan persiapan pengucapan ijab-kabul hendak dimulai, saya mulai merasakan ada yang membuncah di dada saya. Ada rasa bahagia karena saya bisa hadir di sini dan menyaksikan Alia menikah. Rasa bahagia bercampur haru terus saya rasakan saat detik-detik acara ijab-kabul dilaksanakan.
Pertama-tama, Alia dan Anto meminta ijin untuk menikah kepada papa Alia. Suasana haru makin menyergap para hadirin. Apalagi saat papa Alia mengucapkan kalimat ijab, sambil menangis tersedu. Tak sadar, kelopak mata saya telah dipenuhi dengan bulir-bulir air. Ya, ternyata saya menangis. Padahal, jika mengingat pernikahan saya, rasa-rasanya tak ada apa-apanya. Saya tidak menangis pada saat ijab-kabul dilaksanakan. Saya sendiri heran kenapa waktu itu saya tak bisa menangis. Tapi, begitulah kenyataannya.
Saya merasakan, inilah salah satu pernikahan agung yang pernah saya hadiri. Betapa tidak, pernikaan tersebut dilaksanakan dalam suasana sedih, karena papa Alia sedang menderita kanker tulang akut yang membuatnya sering “anfal:. Pernikahan tersebut juga “dihiasi” dengan mahar sederhana berupa seperangkat alat shalat, perhiasan emas seberat 8 gram, dan hafalan QS. Ar Rahman: 1 – 30. Subhanallah… Semoga kesederhanaan mahar tersebut akan membawa Alia dan keluarganya menuju kehormatan yang setinggi-tingginya di sisi Allah. Amiin.
Seusai acara ijab-kabul, saya mencicipi salad sayur dan puding yang dihidangkan di beranda depan. Saya sengaja tidak mengambil nasi, karena sebelumnya saya sudah sarapan di rumah. Enak juga dessert yang saya santap itu. Sederhana, namun benar-benar cocok di lidah.
Setelah merasa cukup, saya kemudian menuju ke pelaminan Alia dan Anto di ruang depan. Sebentar mengantri, saya pun mendapat giliran untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Di pelaminan itu, Alia dan anto diapit oleh dua orang pendamping. Saya mengira, mereka berdua adalah paman dan mama Alia.
Sampai pada suami Alia, saya masih sanggup mengucapkan kalimat “Barakallahu” dengan lancar. Tapi begitu bersalaman dan berpelukan dengan Alia, saya kembali menitikkan air mata haru. Saat itu, terjadi percakapan singkat antara saya dan Alia.
“Sendirian ya? Yang lain mana?” tanya Alia.
“Nia…, Alin…, mungkin nanti,” jawab saya. Tenggorokan saya tiba-tiba tercekat.
“Suami kamu mana?” tanyanya lagi.
“Belum balik,” jawab saya lagi. Kali itu saya benar-benar sudah sesenggukan.
“Kamu kenapa?” tanya Alia heran.
“Enggak apa-apa. Aku cuma haru sama pernikahan kamu.”
Alia pun tersenyum. Kemudian ia berkata “itu papaku,” sambil menunjuk papanya yang terbaring lemah di sebuah ranjang pendek, di sebelah kiri pelaminan,
Air mata saya terus berlinangan, sampai saya mengucap kalimat “semoga lekas sembuh” pada papa Alia. Beliau sendiri hanya diam, memandangi saya dengan mata berkaca-kaca.
Merasa tak kuat, saya lalu pamit dan keluar ruang sambil mengusap kedua pipi saya yang basah. Saya tak henti bertasbih, karena masih diberi kesempatan untuk menyaksikan salah satu kebesaran-Nya. Yang menyadarkan saya bahwa apapun bisa terjadi, jika hal itu telah menjadi kehendak-Nya. Kapan pun dan dimana pun itu.
0000
Pernikahanmu sungguh indah, Alia. Semoga pernikahan indah dan penuh doa itu, merupakan awal membahagiakan bagi hidupmu. Di dunia dan juga akhirat. Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a baiynakuma fii khair (Semoga Allah memberimu barokah dan barokah Allah meliputi kamu sekalian). Amiin.
Material, 9 April 2005
11:35 WIB
=====
Note for Alia:
Kemaren aku nangis bukan karena suamiku belum balik dari Jerman :D Tapi sungguh, karena keharuanku atas pernikahanmu. Selamat berjuang ya… semoga diberi kemudahan oleh Allah SWT untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Amiin. Trus, kalo ada salah-salah kata, mohon koreksinya. Ntar bisa diedit kok :D