Pernikahan Agung: Alia dan Anto (1)
Senin, 21 Pebruari 2004
Alia pulang dari kantornya di bilangan Jln. Soedirman, Jakarta pada pukul 20.00 WIB. Kali ini ia diantar oleh Anto, calon suaminya, yang hendak mengantarkan Surat Numpang Nikah.
Tiba di rumahnya pada pukul 21.00 WIB, Alia kaget karena di situ telah berkumpul banyak orang. Ternyata di rumah Alia sedang diadakan pengajian. Acara yang lebih mirip Yasinan dan doa itu, diadakan secara mendadak, karena papa Alia sedang “anfal”. Memang sudah cukup lama, papa alia menderita kanker tulang yang sudah cukup akut.
Waktu itu, seluruh keluarga Alia telah berkumpul dan berdoa sambil tak henti menangis. Alia pun kemudian mendekat ke papanya. Tiba-tiba, sang papa berbisik dan memintanya untuk mau dinikahkan saat itu juga.
Singkat cerita, dilakukanlah persiapan pernikahan yang serba seadanya. Anto yang merasa masih belum begitu siap, akhirnya menelpon ke rumah orang tuanya di Ciputat untuk meminta ijin. Orang tua Anto langsung setuju dan tak masalah pernikahan siri (resmi secara agama) tersebut diadakan tanpa kehadiran mereka berdua.
Masalah mahar, sempat menjadi masalah juga, karena memang tidak ada persiapan sama sekali. Awalnya, Anto hendak berhutang mahar, tapi papa Alia tidak mengijinkan. Akhirnya, ada tetangga Alia yang berbaik hati menjual cincin nikahnya dengan harga sangat murah. Cincin emas seberat 3 gram itu, hanya ia jual Rp 5.000,- saja. Subhanallah… Allahu Akbar!
Pada saat upacara ijab-kabul dilaksanakan, Alia melihat hampir seluruh keluarganya menangis, terutama ibu dan kakaknya. Tangis haru bercampur sedih. Alia sendiri mencoba tegar. Alhamdulillah, karena Anto sebelumnya telah menghapalkan kalimat ijab-kabul, acara pun bisa berjalan dengan lancar.
Malam itu, ketika Alia dan Anto berada dalam satu ruang, keduanya masih saja tak percaya bahwa mereka telah menikah. Mereka hanya terdiam dan merasa takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Semua berjalan begitu cepat, begitu singkat, tak direncanakan, tak disangka, dan tak dinyana.
Senin, 21 Pebruari 2004
Alia pulang dari kantornya di bilangan Jln. Soedirman, Jakarta pada pukul 20.00 WIB. Kali ini ia diantar oleh Anto, calon suaminya, yang hendak mengantarkan Surat Numpang Nikah.
Tiba di rumahnya pada pukul 21.00 WIB, Alia kaget karena di situ telah berkumpul banyak orang. Ternyata di rumah Alia sedang diadakan pengajian. Acara yang lebih mirip Yasinan dan doa itu, diadakan secara mendadak, karena papa Alia sedang “anfal”. Memang sudah cukup lama, papa alia menderita kanker tulang yang sudah cukup akut.
Waktu itu, seluruh keluarga Alia telah berkumpul dan berdoa sambil tak henti menangis. Alia pun kemudian mendekat ke papanya. Tiba-tiba, sang papa berbisik dan memintanya untuk mau dinikahkan saat itu juga.
Singkat cerita, dilakukanlah persiapan pernikahan yang serba seadanya. Anto yang merasa masih belum begitu siap, akhirnya menelpon ke rumah orang tuanya di Ciputat untuk meminta ijin. Orang tua Anto langsung setuju dan tak masalah pernikahan siri (resmi secara agama) tersebut diadakan tanpa kehadiran mereka berdua.
Masalah mahar, sempat menjadi masalah juga, karena memang tidak ada persiapan sama sekali. Awalnya, Anto hendak berhutang mahar, tapi papa Alia tidak mengijinkan. Akhirnya, ada tetangga Alia yang berbaik hati menjual cincin nikahnya dengan harga sangat murah. Cincin emas seberat 3 gram itu, hanya ia jual Rp 5.000,- saja. Subhanallah… Allahu Akbar!
Pada saat upacara ijab-kabul dilaksanakan, Alia melihat hampir seluruh keluarganya menangis, terutama ibu dan kakaknya. Tangis haru bercampur sedih. Alia sendiri mencoba tegar. Alhamdulillah, karena Anto sebelumnya telah menghapalkan kalimat ijab-kabul, acara pun bisa berjalan dengan lancar.
Malam itu, ketika Alia dan Anto berada dalam satu ruang, keduanya masih saja tak percaya bahwa mereka telah menikah. Mereka hanya terdiam dan merasa takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Semua berjalan begitu cepat, begitu singkat, tak direncanakan, tak disangka, dan tak dinyana.