April 04, 2005

Pernikahan (1)

Cincin Kawin: Antara Saya dan Rein

Sabtu Siang tanggal 2 April 2005, sepulang mengaji di bilangan Jln. Bangka Raya, saya bersama seorang kawan –sebut saja namanya Rein– pergi ke Pasar Melawai, di daerah Blok M. Sebelumnya, kami tidak membuat janji untuk pergi bersama ke sana. Saya sendiri hanya menunggu waktu, karena pada sore harinya ada kegiatan lagi di LIA Pramuka. Saya tidak tahu persis, apa yang sebetulnya hendak dilakukan Rein disana. Ia cuma bilang, ada sesuatu yang harus ia beli. Sepanjang perjalanan dalam Metromini 77 itu, saya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

Kami pun kemudian tiba di Melawai. Sebenarnya ini bukan kepergian pertama saya ke daerah perbelanjaan Blok M. Tapi, khusus untuk Melawai, saya memang belum pernah mengunjunginya. Yang pernah saya kunjungi hanya Blok M Plaza dan Pasaraya Grande. Buat saya, acara jalan bareng Rein itu, hitung-hitung untuk menambah pengalaman.

Ternyata, saya diajak Rein ke sebuah toko emas, “Cendana” namanya. Pemilik toko dan beberapa pelayan di situ tampaknya bersuku Padang. Beberapa kali Rein –yang kebetulan berasal dari Sumatera Barat— bercakap dengan mereka dalam bahasa Padang –yang tentu saja tidak saya mengerti artinya. Di situ, ternyata Rein hendak mengambil pesanan berupa sepasang cincin kawin, yang sudah dipesannya dua minggu sebelumnya. Ah ya, Rein memang insya Allah hendak menikah sebulan lagi. Tepatnya pada 8 Mei 2005.

Kedua cincin pesanan Rein itu sama persis. Hanya bahan untuk masing-masing cincin itu saja yang berbeda. Cincin yang hendak dikenakan Rein, terbuat dari emas putih. Sedangkan cincin yang akan dikenakan oleh calon suaminya terbuat dari silver berkualitas tinggi. Yang menyamakan keduanya adalah model, grafir dan hiasan tambahan berupa tiga mata berlian di masing-masing cincin.

Pikiran saya lalu melayang ke masa-masa menjelang pernikahan dahulu. Saya dengan gampang mengingat, bahwa saya tak sedetail Rein dalam menyiapkan pernikahan. Setidaknya untuk urusan cincin kawin, seperti yang sedang dilakukan Rein saat itu.

Rein dan pasangannya benar-benar ingin membuat cincin kawin menjadi sesuatu yang penuh kenangan. Mereka benar-benar tak mau “asal” untuk urusan yang satu itu. Susah payah mereka mencari contoh model cincin kawin yang elegan dan pantas untuk mereka kenakan. Saya sangat mengagumi keseriusan mereka itu.

Di balik itu, ada yang ingin saya tertawakan dari cincin kawin milik saya dan suami. Kalau Rein dan calon suaminya mengkondisikan cincin kawin sebagai sebentuk barang yang sungguh berharga dan dipersiapkan secara special, saya dan suami justru sebaliknya. Baru-baru ini, saya baru tersadar akan kecuekan kami dahulu. Jujur saja, kami tak punya banyak waktu untuk itu. Bukan karena kami terlalu sibuk, tetapi lebih kepada menuruti perasaan bahwa itu bukanlah sesuatu yang harus kami prioritaskan. Yang kami pikirkan saat itu, hanyalah agar pernikahan kami bisa berjalan lancar, dan kami pun bisa resmi menjadi pasangan suami istri. Urusan cincin kawin, “ah itu gampang”. Sempat terpikir oleh saya, bahwa mungkin hanya saya saja yang akan memakai cincin. Untuk suami, terserah dia saja. Mau pakai terserah, tidak ya sudahlah.

Ternyata tak segampang itu urusannya. Saya dan calon suami –pada waktu itu- yang menginginkan pernikahan kami menjadi sesuatu yang “mudah”, harus sedikit “tersandung” oleh waktu yang mendesak dan permintaan dari orang tua. Begitu kedua orang tua kami bertemu dan membicarakan permintaan kami berdua untuk menikah, kedua calon mertua saya berencana untuk mengadakan acara lamaran seminggu berikutnya. Waktu yang menurut kami sungguh cepat dan tak terduga sebelumnya.

Saya yang pada saat itu, datang ke Malang hanya untuk mengikuti wisuda S1, harus “terganggu” dengan permintaan dari calon mertua agar kami memesan cincin, yang akan dipergunakan saat lamaran. Saya yang tidak menduga akan adanya permintaan yang begitu mendadak tersebut, merasa tak berdaya untuk menolak. Saya dan calon suami harus menuruti permintaan itu, karena beliau berdua merasa tak enak jika harus menghadap orang tua saya, tanpa membwa “tanda” apapun.

Karena pada Minggu sore, saya dan calon suami harus kembali lagi ke Jakarta, Minggu pagi itu kami pun pergi ke Pasar Besar Malang. Harapan kami, nantinya bisa menemukan toko emas yang mampu memenuhi pesanan cincin kawin, dalam jangka waktu hanya 4 hari saja.

Kenapa hanya 4 hari?

Ya, karena pada hari Jum’atnya, kedua calon mertua saya itu harus sudah berangkat ke kampung halaman saya di Jawa Tengah, guna melakukan lamaran.

Setelah beberapa toko emas kami jelajahi, ternyata tidak ada satu pun yang bisa memenuhi pesanan dalam waktu secepat itu. Apalagi, pesanan kami harus berbeda bahan. Cincin saya dengan mas putih, sedangkan untuk calon suami harus terbuat dari perak. Alhamdulillah, kami bertemu seseorang yang menyarankan kami untuk memesan perhiasan perhiasan perak, di lantai dasar Pasar Besar Malang itu. Dengan tergesa, kami pun segera menuju kesana.

Tidak seperti toko emas yang menyediakan berbagai pilihan model perhiasan, tempat pengrajin perak itu hanya sebuah kios kecil. Dia menyanggupi model apapun yang diinginkan oleh pemesan, namun sayang tak banyak contoh yang bisa kami jadikan ide. Akhirnya kami pun memesan cincin dengan model standar. Hanya berbentuk lingkaran yang pas di jari, tanpa dihiasi bentuk atau grafir apapun. Sebagai pembeda, cincin saya diberi hiasan dengan satu batu permata berwarna putih bening. Saya sendiri, sampai sekarang tidak yakin bahwa itu batu permata. Saya justru meyakini bahwa batu putih bening itu hanyalah kaca kristal biasa. Pengrajin itu menjanjikan ia hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan pesanan kami itu. Jadi paling telat hari Kamis sore, pesanan itu sudah diantar ke alamat calon mertua saya.

Ups, saya hampir lupa. Untuk sepasang cincin itu, kami hanya membayar tak lebih dari Rp 50.000,-. Bandingkan dengan pesanan Rein yang ternyata berharga Rp 2.600.000,- itu. Cukup jauh bukan bedanya? Hehehe…

ooo

Setelah menikah, saya dan suami jadi sedikit berbeda. Kami yang tak terbiasa menggunakan hiasan apapun, kecuali jam tangan (itu pun lebih karena kebutuhan), harus menggunakan cincin kawin berbahan perak itu. Memakainya pun “asal” saja. Dalam artian, kami tidak tahu di tangan mana cincin kawin itu harusnya berada. Saya sendiri memakainya di jari tengah tangan kiri saya.

Hah? Jari tengah?

Iya, jari tengah. Karena ternyata, lingkar cincin saya melebar dan kebesaran untuk saya pakai di jari manis. Jadi daripada lepas, akhirnya saya pakai saja di jari tengah. So simple reason kan? Hehehe...

ooo

Bicara soal cincin yang lepas, suatu malam sepulang kerja, wajah suami saya agak berbeda dari biasanya.

Saya kemudian bertanya, “Ada yang pengen diomongin ya?”

“Iya, tapi kamu jangan marah ya?” jawab suami saya.

“Ya sudah ngomong saja,” saya makin penasaran.

“Itu…, cincinku jatuh pas wudhu di kampus tadi siang,” ia berkata dengan nada sedikit lemah. Ia tampaknya takut kalau saya jadi marah karenanya.

“Oh, kirain mau ngomong apa. Emang kenapa harus marah?” saya bertanya lagi.

“Ya kan itu ada kenangannya.”

“Enggak apa-apa kok. Kalau mau, nanti kita bisa beli lagi,” jawab saya sambil tersenyum.

Suami saya terlihat lega demi melihat ketenangan saya. Pada waktu itu tidak ada rasa marah dalam hati saya,. Saya pikir, kalo soal kenangan, itu kan soal persepsi saja. Apakah tanpa cincin itu, lalu kami jadi tak punya kenangan lagi tentang pernikahan kami? Tentu tidak bukan? Dan lagi, masih ada cincin saya. Yang saya harap, bisa lebih saya jaga.

Suami saya, sampai saat ini tetap tak memakai cincin kawin. Dan saya pun tak khawatir karenanya. Bukan karena ia malas memakai, tapi karena kami malas untuk membelinya lagi... :D Saya percaya padanya, tanpa harus ia memakai cincin, sebagai penanda bahwa dia telah menikah.

Berawal dari kenangan soal cincin kawin suami saya yang hilang itu, saya lalu berpesan pada Rein.

“Nanti suamimu suruh hati-hati ya, Rein. Jangan sampai cincin itu terlepas saat berwudhu.”

“Memang kenapa?” tanya Rein. Ia masih tak mengerti akan maksud kata-kata saya.

“Ya, sayang kalo sampai hilang. Biar pun itu bahannya silver seperti punyaku, tapi kan punya suamimu itu ada berliannya. Bisa rugi kalian,” jawab saya sembari tertawa.

Rein pun tersenyum.

Begitu jauh beda harga antara cincin kawin saya dengan cincin kawin Rein. Tapi saya tak pernah menyesal. Saya tahu, kebahagiaan pernikahan saya tak cuma diukur dari seberapa mahal harga cincin kawin saya itu. Dan seperti saya bilang tadi, saya mempercayai suami saya, walau di jarinya tak ada cincin kawin sebagai penanda.

Material, 03/04/2005
21:50 WIB
• • •