April 15, 2005

Pernikahan (3)

Minder Saya dan Visi Pernikahan

Suatu hari, suami saya bertanya, “kamu tahu si A, angkatan 1997?”

“Ya, dek tahu. Kenapa?” saya balik bertanya.

“Dia nikah,” jawabnya.

“Sama siapa?” tanya saya lagi.

“Sama si B, angkatan 2000. Kamu tahu dia?”

“Oh, kalo yang ini dek gak tahu orangnya. Tapi, dek sering dengar namanya. Bukannya dia kerja di tempatmu juga?”

“Iya, dia yang menggantikan posisiku di kantor,” jawabnya sambil terkekeh.

“Oh, begitu,” tanggap saya singkat.

Penjelasan suami saya ternyata masih berlanjut. “Si B itu mapres fakultas, juara 2 mapres univ, dan ketua keputrian di rohis univ. Dia mendapatkan jodoh yang pas dan sepadan.”

Deg!

Saya terdiam sejenak. Memikirkan diri saya sendiri. Lalu, saya berkata pada suami. “Kenapa kamu tidak tak cari saja yang sepadan denganmu?”

“Maksudnya?” tanyanya heran.

“Ya, misal yang satu fakultas denganmu. Biar nyambung kalau diajak ngomong. Enggak kayak aku,” ungkap saya.

0000

Obrolan-obrolan semacam itu, seringkali terjadi diantara kami. Obrolan yang singkat, tapi sanggup membuat hati saya kadang tertohok. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas, saya lalu berpikir ulang tentang kami berdua.

Tak jarang, saya merasa kasihan pada suami saya itu. Ia mendapatkan orang yang biasa-biasa saja, seperti saya. Dengan potensi yang ia punya, seharusnya ia bisa mendapatkan yang lebih. Lebih pintar, lebih cantik, lebih kaya, dan yang pasti, lebih sholihah dibandingkan dengan saya.

Ya, apalah saya ini dibandingkan dia. Sama sekali bukan apa-apa. Mungkin, seperti langit dan bumi. Jauh… sekali bedanya.

Saat saya sedang dilanda resah seperti itu, suami saya biasanya langsung menghibur. Ia berkata, “aku enggak tahu kenapa akhirnya aku milih kamu. Tapi buatku, kamu tuh the one and only. Sungguh!”

Saya tahu dia mencintai saya. Mungkin malah sangat cinta. Ia mengkhawatirkan saya melebihi siapapun. Menjadi teman berbagi yang asyik. Tempat bertanya saat saya butuh jawaban. Menjadi sahabat dalam berbagai suasana. Juga, suami yang setia dan seorang pengkritik yang tahu saya banget!

Terkadang ia marah saat saya mulai “membusukkan” diri saya sendiri. Ia tak segan bertanya, apa yang membuat saya jadi seperti itu. Ia lalu membantu saya berdiri dan mengobarkan kembali semangat saya yang sempat luntur. Selalu mengingatkan saya, bahwa saya pun berharga. Dan karenanya, saya patut dicintai olehnya.

Sesaat saya tersadar. Tapi ketika mendengar suami saya bercerita tentang pasangan lain, saya bisa “drop” lagi. Saya merasa terlempar ke pojok ruang hampa. Membuat saya takut dan kembali mengoreksi diri sendiri, dengan cara yang –kadangkala- kurang fair. Aneh memang, tapi, begitulah adanya.

Ya, teman-teman suami saya, hampir semuanya memiliki pasangan yang –menurut saya- hebat.

Si C, istrinya adalah seorang dokter gigi.
Si D, calon istrinya adalah seorang dokter.
Si E, istrinya adalah seorang ahli Informatika,
Si F, calon istrinya adalah seorang arsitek.
Dan lain-lainnya…

Sedang saya?

Atau…, beberapa wanita hebat pun ada di sekeliling suami saya. Dan seringkali mereka belum menikah. Kadang saya berpikir, salah satu dari merekalah yang seharusnya mendampingi dia, bukan saya. Saya terlalu biasa untuk orang berpotensi sepertinya.

Pernah suatu hari, satu sisi hati saya bertanya, “kalau ia memilih mereka, bagaimana denganmu?”

“Tentu aku akan sedih. Tapi aku bisa mengerti keputusannya. Ia pantas mendapatkan yang setara dengannya,” jawab sisi hati saya yang lain.

Tapi, benarkah saya akan sekuat itu?

0000

Keminderan-keminderan dan rasa tidak percaya diri (PD) yang saya rasakan itu, saya rasa dipengaruhi oleh pola didik ayah saya. Ia orang yang keras dan cenderung kurang menghargai pendapat saya. Saat masih kanak-kanak, sering saya kena marah, hanya karena menanyakan suatu hal yang memang benar-benar belum saya pahami dan ketahui. Padahal, -menurut pemikiran saya sekarang- hal itu seharusnya tak perlu terjadi.

Seorang anak dengan basic pendidikan demokratis, akan belajar sejak awal tentang keberanian berpendapat dan menghargai pemikiran orang lain. Ia belajar mengerti bagaimana ia harus melakukan suatu hal, agar ia paham tentang sesuatu yang belum ia ketahui. Ia pun akan punya self confidence yang tinggi, karena ia merasa berharga dan dihargai. Ia takkan pernah merasa minder, hanya karena hal-hal sepele, seperti yang seringkali saya alami.

Dan memang, visi ini harus ditanamkan sejak awal pernikahan. Menikah bukan hanya untuk menyatukan dua kubu yang berbeda latar belakang dan prinsip, tapi juga merupakan wahana untuk mendidik generasi penerus. Adalah tugas utama setiap orang tua, untuk membuat anak selalu PD dan yakin akan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Jangan biarkan ia tak punya tujuan hidup yang jelas, hanya karena kita –sebagai orang tua- tak penah menghargainya.

Dan akhirnya…

“Jika daku jatuh cinta, biarkanlah kepadamu
ingin daku, engkau yang pertama di hatiku
jika daku jatuh cinta.”

Suamiku, terima kasih untuk selalu membantuku bangkit dan berkembang. Terima kasih untuk setiap tetes kasih yang kau berikan untukku. Memang, tak ada satu pun yang pasti. Tapi engkau telah membantuku beranjak dari ragu. Terima kasih, Cinta. Engkaulah permata. Selamanya…

Material, 13 April 2005
01.15 WIB
• • •