Tulisan ini aku buat untuk menjawab pertanyaan dari seorang temen di friendster. Maaf tidak kubalas melalui message friendster, karena jawaban untuk itu terlalu panjang. Jadi sebagai gantinya, aku tulis semua itu dalam tulisan berikut ini. Semoga bisa menjawab. Amiin. Wallahu 'alam...
=========
Sebenarnya kesiapan menikah itu relatif, tergantung dari orangnya. Dan biasanya, orang cenderung menjadi sensitif jika ditanya mengenai pernikahan. Karena ya itu tadi, ukuran kapan siap nikah itu tidak bisa dipatok pada umur A atau B, atau dipatok jika sudah punya rumah, mobil, dsb. Semua itu bergantung pada bagaimana orang memandang arti menikah dan untuk apakah pernikahan itu sendiri bagi dirinya.
Kalo aku sendiri, aku siap menikah saat aku sudah menemukan orang yang –at least- ngertiin aku. Aku mau dia sayang sama aku bukan karena bagaimana atau siapakah aku, tapi karena diriku apa adanya. Aku juga mau, yang jadi pasanganku itu harus siap juga menghadapi berbagai kemungkinan masalah yang akan dihadapi, tentu dengan cara bijaksana. Dan yang pasti sih, dia harus memahami pula karakterku yang emang gak mau asal nurut (kasarnya ya rada ngeyel gitulah). Dia harus bisa menjawab tanyaku dgn cara-cara yang logis. Aku gak mau dia asal nyuruh, atau dia asal marah tanpa alasan yang jelas.
Dan ini juga penting, agama dan iman. Menurutku soal agama ini juga sensitif. Kadang kan ada yang asal cinta, terus nikah. Gak peduli bagaimana agamanya or apakah agamanya. Menurutku sendiri, agama tuh juga penting dipertimbangkan. Karena kalo sampai ortunya beda agama, kasihan juga anaknya nanti. Dia jadi terpaksa harus milih ikutan bapaknya atau ibunya. Itu membingungkan! Ya, tentu saja akan sangat susah menjalankan sebuah biduk dgn 2 nakhoda yang berbeda. Dan lagi, dengan agama yang sama, biasanya kita juga akan lebih mudah untuk saling mengingatkan agar menjadi lebih baik. Misalnya kalau aku ya berarti ngingetin suami untuk rajin sholat dan puasa. Kalo seorang lelaki penganut kristen, ya mungkin ngingetin istri biar rajin ke gereja, dsb. Untuk aku sendiri, aku termasuk yang tidak bisa dan tidak memilih untuk menikah dengan yang laki-laki yang agamanya beda denganku.
Oya, selain kematangan dalam pikiran dan juga iman, kesiapan materi juga perlu dipertimbangkan. Nah, parahnya orang sering menilai dengan status pekerjaan. Orang sudah bisa dinilai siap menikah kalo dia sudah bekerja tetap. Menurutku sih pikiran seperti itu boleh-boleh saja, tapi bukan mutlak benar. Menurutku yang lebih bagus adalah bukan BEKERJA TETAP tapi justru TETAP BEKERJA (terutama yang laki-laki, karena dialah yang bertanggung jawab penuh atas keluarga). Aku sendiri menikah dalam kondisi suami BUKAN PEKERJA TETAP. Dia masih berstatus pegawai kontrak dan belum jelas pula kapan diangkat. Tapi Alhamdulillah, 3 bulan setelah nikah, dia diangkat juga jadi Pegawai Tetap. Kami berdua menyebut itu sebagai barakah dan rejeki nikah. Insya Allah.
Terakhir, menikah itu lebih membawa keselamatan dan ketenangan daripada sekedar pacaran. Aku sendiri memilih menyegerakan menikah, karena kupikir aku justru tidak akan menjadi lebih baik, jika terus-terusan pacaran. Apalagi kami berdua telah cukup lama saling mengenal. Kalau terus pacaran, kami justru gak yakin bahwa kami bisa sebaik sekarang. Karena dengan menikah, orang dilatih untuk menjadi dewasa dan menjadi lebih baik. Ya, kalo kita gak menjadi semakin baik dan bijaksana, bagaimana kita bisa mendidik anak-anak kita menjadi orang yang baik dan beriman?
Oke, moga itu bisa membantu untuk siapa saja yang bertanya mengenai kesiapan menikah. Amiin.
PP Plaza Lt.3
08/12/2004 13:10