Sebelum saya menikah (bahkan sampai sekarang - red), seringkali saya lihat gelar kesarjanaan kedua calon mempelai dicantumkan di undangan pernikahan mereka. Dan karena kebiasaan itu sudah saya ketahui sejak masih kanak-kanak, saya bahkan dulu pernah menginginkan saat besar nanti saya pun ingin menjadi sarjana dulu sebelum menikah. Tujuannya agar nantinya bisa mencantumkan gelar kesarjanaan saya di undangan nikah. Ceilee…padahal waktu itu juga belum tahu siapa jodoh saya nantinya. Saya cuma berpikir bahwa sepertinya akan terlihat keren kalau ada di belakang nama saya ada gelar kesarjanaan. Dan yang lebih asyik lagi, undangan nikah yang keren itu adalah hasil kreasi saya sendiri (Hihihi, padahal belum tahu nantinya undangannya bakalan seperti apa). It’s totally a child's mind…:D
Tapi waktu pun akhirnya membuat saya berubah pikiran. Apalagi sejak saya kuliah dan mulai bergaul dengan kalangan yang lebih luas. Saya tidak lagi memandang pernikahan sebagai ajang untuk pamer atau untuk bangga-banggaan gelar. Menikah buat saya merupakan bentuk tanggung jawab kita sebagai seorang manusia dewasa. Menikah juga sebuah ibadah kalau kita memang benar-benar ikhlas menjalaninya.
Hasil dari kesemuanya itu pun berimbas pada keinginan saya untuk tidak mencantumkan gelar kesarjanaan di undangan pernikahan kami. Untunglah saya dan (calon) suami memiliki pandangan yang sama soal pencantuman gelar itu. Kalau tidak, wah bisa berabe tuh. Bakal ada debat panjang, sebelum pernikahan kami terjadi.
Undangan nikah kami didesain sendiri oleh (calon) suami saya. Pada saat desain memang tidak ada masalah. Tapi ketika hampir tiba pada proses pencetakan, kami terbentur pada perbedaan pendapat antara saya dan orang tua saya. Orang tua saya ingin di undangan nikah itu dicantumkan gelar kami berdua. Bapak saya bilang, adalah sebuah kebanggaan kalau orang-orang yang menerima undangan kami itu bisa tahu bahwa kami berdua sudah lulus kuliah saat menikah itu. Dan kebanggaan juga karena sebagai orang tua, beliau telah berhasil menyekolahkan saya hingga jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya saya jelaskan pada beliau bahwa menikah itu tak ada hubungannya dengan gelar. Apalah arti sebuah gelar, toh yang penting kami sudah bisa mandiri. Tidak penting apakah kami berdua masih kuliah atau tidak.
Saya juga menjelaskan pada beliau bahwa di lingkungan kerja (calon) suami saya (yang kebetulan seorang akademisi), banyak orang dengan gelar yang lebih hebat. Kami berdua baru lulus S1, sementara rekan-rekan kerja suami saya sudah banyak yang lulus S2, S3, bahkan ada pula yang sudah Profesor. Dengan begitu, akan terlihat lebih pas bila di undangan pernikahan nanti tidak usah dicantumkan gelar kesarjanaan kami tersebut. Alhamdulillah, akhirnya kedua orang tua mengerti akan hal itu.
Tapi, saat ngundhuh mantu di Malang, Jawa Timur, kami berdua “kecolongan”. Acara ngundhuh mantu diadakan seminggu setelah pernikahan kami di Banjarnegara, Jawa Tengah. Karena acara itu memang diadakan dengan persiapan yang cukup singkat, saya tidak sempat menanyakan bagaimana undangan untuk acara ngundhuh mantu itu. saya dan suami menyerahkan seluruh urusan pada keputusan mertua saya. Kami berdua pun baru tiba di malang pada 2 hari menjelang acara itu.
And what happened next…? Di undangan acara itu tercantum nama kami berdua dengan gelar kami masing-masing.
Tapi waktu pun akhirnya membuat saya berubah pikiran. Apalagi sejak saya kuliah dan mulai bergaul dengan kalangan yang lebih luas. Saya tidak lagi memandang pernikahan sebagai ajang untuk pamer atau untuk bangga-banggaan gelar. Menikah buat saya merupakan bentuk tanggung jawab kita sebagai seorang manusia dewasa. Menikah juga sebuah ibadah kalau kita memang benar-benar ikhlas menjalaninya.
Hasil dari kesemuanya itu pun berimbas pada keinginan saya untuk tidak mencantumkan gelar kesarjanaan di undangan pernikahan kami. Untunglah saya dan (calon) suami memiliki pandangan yang sama soal pencantuman gelar itu. Kalau tidak, wah bisa berabe tuh. Bakal ada debat panjang, sebelum pernikahan kami terjadi.
Undangan nikah kami didesain sendiri oleh (calon) suami saya. Pada saat desain memang tidak ada masalah. Tapi ketika hampir tiba pada proses pencetakan, kami terbentur pada perbedaan pendapat antara saya dan orang tua saya. Orang tua saya ingin di undangan nikah itu dicantumkan gelar kami berdua. Bapak saya bilang, adalah sebuah kebanggaan kalau orang-orang yang menerima undangan kami itu bisa tahu bahwa kami berdua sudah lulus kuliah saat menikah itu. Dan kebanggaan juga karena sebagai orang tua, beliau telah berhasil menyekolahkan saya hingga jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya saya jelaskan pada beliau bahwa menikah itu tak ada hubungannya dengan gelar. Apalah arti sebuah gelar, toh yang penting kami sudah bisa mandiri. Tidak penting apakah kami berdua masih kuliah atau tidak.
Saya juga menjelaskan pada beliau bahwa di lingkungan kerja (calon) suami saya (yang kebetulan seorang akademisi), banyak orang dengan gelar yang lebih hebat. Kami berdua baru lulus S1, sementara rekan-rekan kerja suami saya sudah banyak yang lulus S2, S3, bahkan ada pula yang sudah Profesor. Dengan begitu, akan terlihat lebih pas bila di undangan pernikahan nanti tidak usah dicantumkan gelar kesarjanaan kami tersebut. Alhamdulillah, akhirnya kedua orang tua mengerti akan hal itu.
Tapi, saat ngundhuh mantu di Malang, Jawa Timur, kami berdua “kecolongan”. Acara ngundhuh mantu diadakan seminggu setelah pernikahan kami di Banjarnegara, Jawa Tengah. Karena acara itu memang diadakan dengan persiapan yang cukup singkat, saya tidak sempat menanyakan bagaimana undangan untuk acara ngundhuh mantu itu. saya dan suami menyerahkan seluruh urusan pada keputusan mertua saya. Kami berdua pun baru tiba di malang pada 2 hari menjelang acara itu.
And what happened next…? Di undangan acara itu tercantum nama kami berdua dengan gelar kami masing-masing.
AAK, S.Kom
dan
TMH, SE, Ak
dan
TMH, SE, Ak
Wah…, benar-benar tak sangka. Malu sebenarnya waktu itu, karena saya merasa bukan apa-apa dengan gelar saya. Dan itulah salah satu alasan kenapa saya tak mau mencantumkan gelar saya. Hiks..hiks…Untungnya acara hari itu lancar-lancar saja. Walau sederhana dan hanya diadakan di beranda rumah mertua yang kebetulan berhalaman luas -karena depan rumah adalah lapangan-, tapi acara tetap meriah. :D Beberapa teman dan adik tingkat di Unibraw juga menyempatkan diri datang di tengah kesibukan kuliah mereka. (Nuhun atas kepedulian kalian semua :)).
Beberapa bulan setelah nikah, saya dan suami sempat mudik ke rumah orang tua saya. Ibu saya pun bercerita, bahwa gara-gara gelar saya tak dicantumkan di undangan nikah, seorang teman beliau mengira bahwa saya masih belum lulus kuliah.
“Putri ibu sekarang masih di Malang kan?” tanya temannya itu.
“Lho, ya di Jakarta. Memang kerjanya juga di sana kok, “ jawab ibu saya.
“Oh sudah lulus tho? Saya pikir masih kuliah. Soalnya di undangan nikah itu kan nggak ada gelar mereka berdua.”
Ibu saya tersenyum simpul sambil menjawab, “oh pas nikah itu udah lulus dan juga udah kerja di Jakarta kok. Dia lulus 6 bulan sebelum menikah.”
Wah…wah, nasib gak mau mencantumkan gelar tuh….:D
Nah, kejadian itu benar-benar pelajaran berharga buat saya. Sampai sekarang, saya tetap lebih suka jika di undangan pernikahan tidak dicantumkan gelar kesarjanaan kedua mempelai. Tapi saya tetap menghargai yang ingin mencantumkan kok. Saya berhusnudzon saja, bahwa mungkin mereka mencamtumkan gelar itu demi kebahagiaan kedua orang tua. Dan lagi…, biar orang-orang tahu kalau yang jadi pengantin itu udah pada lulus kuliah, udah mandiri dan gak jadi beban orang tua lagi :D Jadi mau dicantumkan atau tidaknya gelar anda, semua terserah anda.
material, 11/05/2005
Beberapa bulan setelah nikah, saya dan suami sempat mudik ke rumah orang tua saya. Ibu saya pun bercerita, bahwa gara-gara gelar saya tak dicantumkan di undangan nikah, seorang teman beliau mengira bahwa saya masih belum lulus kuliah.
“Putri ibu sekarang masih di Malang kan?” tanya temannya itu.
“Lho, ya di Jakarta. Memang kerjanya juga di sana kok, “ jawab ibu saya.
“Oh sudah lulus tho? Saya pikir masih kuliah. Soalnya di undangan nikah itu kan nggak ada gelar mereka berdua.”
Ibu saya tersenyum simpul sambil menjawab, “oh pas nikah itu udah lulus dan juga udah kerja di Jakarta kok. Dia lulus 6 bulan sebelum menikah.”
Wah…wah, nasib gak mau mencantumkan gelar tuh….:D
Nah, kejadian itu benar-benar pelajaran berharga buat saya. Sampai sekarang, saya tetap lebih suka jika di undangan pernikahan tidak dicantumkan gelar kesarjanaan kedua mempelai. Tapi saya tetap menghargai yang ingin mencantumkan kok. Saya berhusnudzon saja, bahwa mungkin mereka mencamtumkan gelar itu demi kebahagiaan kedua orang tua. Dan lagi…, biar orang-orang tahu kalau yang jadi pengantin itu udah pada lulus kuliah, udah mandiri dan gak jadi beban orang tua lagi :D Jadi mau dicantumkan atau tidaknya gelar anda, semua terserah anda.
material, 11/05/2005
8:18 wib